Search
Close this search box.

Kirab Umbul Donga: Masyarakat Adat Nusantara Bersama Keturunan Pangeran Diponegoro Gelar Ritual Suran Haul Pepunden di Borobudur

Bagikan :

VISI.NEWS | MAGELANG – Masyarakat Adat Nusantara (MATRA) bersama keturunan Pangeran Diponegoro menggelar kirab Umbul Donga di wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Acara ini merupakan bagian dari ritual Suran Haul Pepunden (leluhur) Borobudur yang diawali dengan kirab oleh berbagai komunitas adat seperti Mangkualam, Masyarakat Adat Brayat Ageng Sentono, MATRA, Dipanegaran, Brayat Senja Kadang, serta pelaku seni budaya Omah Mbudur dan warga setempat.

Rombongan peserta berjalan kaki dari Omah Mbudur menuju makam leluhur yaitu Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo, dan Eyang Suro Dikoro di Desa Jowahan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Budayawan MATRA Brayat Senja Kadang Omah Mbudur, Nuryanto, menjelaskan bahwa prosesi tersebut merupakan bentuk Puja Bakti (ziarah) kepada leluhur Eyang Suro Dipo yang bertepatan dengan bulan Suro dalam penanggalan Jawa dan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Nuryanto, Eyang Suro Dipo adalah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur saat agresi melawan Belanda. Darahnya yang tercecer dikumpulkan dengan daun pohon awar-awar, kemudian dimakamkan bersama jasadnya di Jowahan. Oleh karena itu, Eyang Suro Dipo juga dikenal sebagai Kyai Jugil Awar Awar. “Ini tanda bukti bahwa kita mencintai para leluhur, para pendahulu, para pejuang yang rela berkorban untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia,” kata Nuryanto pada Minggu (04/08/2024).

Lantunan langgam Jawa yang lirih mengiringi kirab sepanjang satu kilometer tersebut. Dalam gelar budaya yang dihadiri Bunda Gusti Angling Kusumo Mangkualaman ini, semua peserta mengenakan pakaian tradisional Jawa seperti lurik, sorjan, dan kebaya. KGRAA Mangku Alam Al-Haj, pendiri Masyarakat Adat Nusantara atau MATRA, memimpin acara ini sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya tradisi nusantara.

Di lokasi makam pepunden, prosesi kidung Puja Bakti dan Umbul Donga dilanjutkan dengan pembacaan doa bersama dengan khidmat, diiringi asap wewangian. Doa puja dipimpin oleh sesepuh desa yang diikuti oleh semua warga MATRA. Nuryanto menjelaskan bahwa keberadaan Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo, dan Eyang Suro Dikoro merupakan bagian dari sejarah yang sempat terlupakan. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, semua keturunannya tidak lagi menggunakan nama Dipo untuk menghindari perburuan Belanda.

Baca Juga :  Federasi Sepakbola FIFA, Puji Timnas Indonesia : Diatas Kertas Terlemah, tapi Mengejutkan

Rencananya, ritual ini akan menjadi kegiatan rutin di bulan Suro, baik dalam skala besar maupun sederhana, sebagai upaya melestarikan tradisi yang bermanfaat bagi semua. “Kita coba untuk tetap melestarikan tradisi ini yang namanya ‘mikul duwur mendem jero’ sebagai wujud rasa hormat kepada leluhur dan orang lain,” jelas Nuryanto.

Gus Farid Dipanegaran, salah satu keturunan Pangeran Diponegoro yang tinggal di wilayah Borobudur, mengungkapkan bahwa sekitar 600 jiwa keturunan Pangeran Diponegoro tersebar di wilayah Magelang, khususnya Borobudur. Pangeran Diponegoro memiliki istri di Borobudur dengan keturunan putra wayah Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Dipo. Banyak keturunan Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Dipo yang menjadi kepala desa atau lurah di wilayah Borobudur.

“Sangat bersyukur, berbangga hati atas inisiasi perhelatan budaya kirab Suran Pepunden oleh Omah Mbudur ini. Semoga kita mendapatkan berkah dari Tuhan dan juga bagi para leluhur,” kata Gus Farid Dipanegaran setelah acara tersebut. Usai kirab, prosesi dilanjutkan dengan kembul bujono atau makan bersama sebagai upaya menjalin silaturahmi dan melestarikan tradisi.

@rizalkoswara

Baca Berita Menarik Lainnya :