VISI.NEWS | JAKARTA – Maarif Institute menginisiasi program “Maarif House” sebagai ikhtiar untuk merealisasikan gagasan besar Buya Syafii Maarif yang terangkum dalam konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Program ini dirancang untuk mengatasi dinamika dan persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat. Dalam diskusi perdana yang diselenggarakan pada Kamis, 18 Juli 2024, di kantor Maarif, tema yang diangkat adalah “Agama, Krisis Lingkungan dan Persoalan HAM: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahah atau Masalah?”.
Isu ini dipilih karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Kebijakan ini telah memicu kontroversi di berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, aktivis HAM, politisi, hingga masyarakat umum.
Acara ini dihadiri oleh Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU), Fajar Riza Ul-Haq (Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan Siti Maimunah dari Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai pemantik utama. Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, bertindak sebagai moderator.
Andar Nubowo membuka acara dengan menyampaikan bahwa Maarif House dirancang sebagai upaya untuk merealisasikan gagasan besar Buya Syafii Maarif terkait konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. “Kami berharap program ini dapat menjadi ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berdialog, bertukar gagasan, serta menemukan solusi atas berbagai persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat,” ujar Andar.
Ulil Abshar Abdalla menawarkan sudut pandang yang menarik mengenai konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Ulil menggambarkan bahwa mereka yang menolak kebijakan ini cenderung melihat isu tambang melalui kacamata ideologis yang kaku. Ia mengajukan oposisi biner antara ideologi dan fikih sebagai kerangka untuk melihat masalah-masalah modern. Menurutnya, fikih memiliki keterbukaan semiotis, sedangkan ideologi cenderung tertutup. Pendekatan fikih yang digunakan para kiai NU, menurut Ulil, telah memperhitungkan maslahat dan mafsadat (kebaikan dan kerusakan).
Fajar Riza Ul-Haq menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada pembicaraan antara pihak Pemerintah dengan Muhammadiyah terkait pengelolaan tambang. “Sikap PP Muhammadiyah masih mendalami persoalan ini. Ada banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih ada DNA Muhammadiyah terkait kesejahteraan umum, yang menjadi pembahasan pada Muktamar ke-36 di Bandung, tahun 1965, yang kalau dibaca dalam UUD 1945 punya pijakan yang sama,” jelas Fajar.
Siti Maimunah, aktivis perempuan yang telah puluhan tahun bergerak dalam isu pertambangan, menyoroti dampak negatif pertambangan, terutama bagi perempuan. “Petani itu butuh tanah, butuh air, dan energi yang luar biasa untuk bereproduksi. Ada empat resiko yang terjadi pada air: kawasan tangkapan air dibongkar, kawasan resapan air dibongkar, tambang rakus air, dan pencemaran sumber-sumber air,” tegas Siti.
Budhy Munawar-Rachman, sebagai penanggap, merespon pandangan Ulil tentang isu tambang. Menurutnya, lingkungan tidak dapat dipandang secara ideologis melainkan harus dilihat sebagai ilmu yang memberikan pemahaman baru. “Mendowngrade lingkungan dari ideologi ke teknis berbahaya karena kita tidak peduli terhadap apa yang terjadi. Lingkungan juga memerlukan lebih dari sekadar teknologi,” terang Budhy. Ia menambahkan bahwa pendekatan yang mengintegrasikan teologi dan ekologi dapat memberikan landasan yang lebih kuat untuk menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan manusia.
Selain pemantik utama, acara ini juga dihadiri oleh para penanggap dari sektor publik, sektor swasta, dan masyarakat sipil, termasuk Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International), M. Yana Aditya (Wakil Ketua Umum Ikatan Saudagar Muslim Indonesia), dan Visna Vulovic dari PT. Globalindo Mineraltama Mandiri.
“Kami berharap program ini mampu membuka perspektif baru, memberikan arah dan kesadaran bahwa literasi perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca secara terus menerus untuk mencari solusi atas berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang berkembang,” pungkas Andar Nubowo.
@uli