VISI.NEWS | JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa mulai Januari 2025, seluruh kendaraan bermotor di Indonesia, baik mobil maupun motor, wajib mengikuti asuransi third party liability (TPL). Kebijakan ini mengharuskan masyarakat untuk membayar premi untuk setiap kendaraan yang dimiliki. TPL adalah produk asuransi yang memberikan ganti rugi kepada pihak ketiga yang dirugikan oleh kendaraan bermotor yang dipertanggungkan sebagai akibat risiko yang dijamin dalam polis.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyatakan bahwa aturan ini bertujuan baik untuk melindungi masyarakat secara finansial jika terjadi kecelakaan. “Memang tujuannya baik, tapi kan asuransi ini kan mengaitnya banyak sekali. Kalau misalnya asuransi kecelakaan kan dipakai hanya saat terjadi kecelakaan, kalau tidak ya nggak terpakai,” ujarnya.
Namun, Trubus juga menggarisbawahi bahwa kewajiban asuransi bagi setiap kendaraan dapat memberatkan pemilik kendaraan, terutama mereka yang memiliki keterbatasan finansial. “Ini bisa membebani masyarakat, apalagi masyarakat sudah punya asuransi yang lain (BPJS dan lain-lain). Kan asuransi sudah banyak tiba-tiba di tambah asuransi, wajib lagi, sama kaya Tapera mereka yang sudah punya rumah lagi nyicil tetap saja wajib Tapera, itu kan repot lagi,” jelasnya.
Trubus menyarankan agar OJK melakukan sosialisasi dan diskusi publik terlebih dahulu sebelum menetapkan aturan wajib asuransi kendaraan bermotor ini. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih memahami maksud dan tujuan dari aturan ini serta skema yang jelas agar tidak merugikan masyarakat.
“Kalau memang ini mau jadi wajib, saya melihat perlu ada skema yang jelas di mana nanti si pemilik kendaraan itu ketika klaim itu harus betul-betul cair. Jangan ini ujung-ujungnya sebenarnya pemerintah ini mau ngumpulin duit, repotnya itu. Ini kan kasusnya mirip-mirip Tapera nantinya,” ucap Trubus.
Di sisi lain, pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan bahwa aturan terkait wajib asuransi kendaraan bermotor sebetulnya sudah diatur di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, namun belum pernah terlaksana. “Kebijakan ini diaktifkan lagi dengan UU 4/2024 tentang PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) di bawah Asuransi Wajib. Hal ini bagus untuk mendorong literasi dan inklusi asuransi kita yang masih rendah,” ucapnya.
Menurut Irvan, kebijakan ini dapat membantu perusahaan asuransi dalam negeri berkembang dengan meningkatkan jumlah pengguna. Namun, ia juga mengakui bahwa kebijakan ini dapat membebani masyarakat karena mereka harus menyisihkan sebagian penghasilan untuk membayar premi asuransi kendaraan. “Untungnya penetrasi dan inklusi asuransi diharapkan meningkat. Keuntungan lain ada jaminan proteksi bagi korban kecelakaan lalu lintas. Ruginya tentu ada beban premi tambahan bagi pemilik mobil dan operator kendaraan umum,” kata Irvan.
Irvan juga menekankan pentingnya OJK membuat aturan turunan yang dapat menyeragamkan atau membuat standar premi dan prosedur klaim jika terjadi kecelakaan yang melibatkan beberapa kendaraan sekaligus. “OJK perlu menetapkan POJK tentang asuransi wajib TPL. Tidak hanya soal premi tetapi prosedur klaim bila (terjadi kecelakaan yang) melibatkan beberapa kendaraan sekaligus. Tentunya (penyusunan aturan ini) berkoordinasi dengan pihak Asosiasi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sifat asuransi TPL yang wajib dimiliki ini nantinya dapat mengecualikan beberapa pihak yang tidak memiliki asuransi, mirip dengan BPJS yang meskipun wajib namun banyak yang tidak memilikinya. “Kalau soal (nanti) ada yang tidak memiliki asuransi tentu merupakan pengecualian karena sifat asuransi TPL sendiri wajib dimiliki (dengan adanya aturan ini nanti),” pungkasnya.
@shintadewip