Oleh Syakieb Sungkar
MANA yang lebih hebat pelukis Dullah dengan Basoeki Abdullah? Keduanya adalah pelukis naturalis/realis dan pelukis potret yang akurat. Keduanya juga pelukis kesayangan Bung Karno dan karya-karyanya banyak dikoleksi serta menjadi national heritage bangsa Indonesia, sehingga kita dapat menikmatinya di Istana Negara sampai sekarang. Mereka adalah pelukis produktif, diperkirakan masing-masing pernah membuat 5000 lembar lukisan semasa hidupnya. Keduanya juga mempunyai Museum yang memajang lukisan peninggalan mereka. Museum Basoeki Abdullah ada di Cilandak, Jakarta, yang didanai oleh Pemerintah DKI Jakarta. Sementara Museum Dullah ada di Surakarta yang dipelihara oleh anaknya yang telah menjadi konglomerat. Saya juga banyak mengoleksi karya keduanya, dan menjadi cita-cita saya dalam melukis: suatu saat kelak lukisan saya akan bisa mendekati gaya mereka.
Namun ada satu hal yang berbeda di antara mereka, yaitu Basoeki Abdullah dapat mengkhayal atau mengarang suatu adegan yang tidak ada. Misalnya, Basoeki bisa mereka-reka peristiwa ketika Joko Tarub sedang mencuri salah satu selendang dari 7 bidadari yang sedang mandi. Atau Basoeki bisa mengarang peristiwa perkelahian Gatot Kaca dengan Onto Seno ketika memperebutkan Dewi Sembadra. Sementara Dullah “tidak dapat melukis sesuatu yang tidak ada”, itulah kata-kata yang diucapkannya dalam suatu wawancara. Dullah hanya bisa melukis apa yang ada di depannya saja, misalnya orang yang berpose untuk dilukis atau pemandangan alam. Pernah Dullah mencoba mengarang sosok Nyi Roro Kidul, tetapi akhirnya gagal karena ia tidak pernah melihat Nyi Roro Kidul itu seperti apa. Singkatnya Dullah tidak bisa mengkhayal atau berimajinasi seperti Basoeki. Di sanalah saya melihat nilai plus dari Basoeki Abdullah. Pandai melukis boleh-boleh saja, dan itu memang kemampuan wajib yang harus dimiliki seorang pelukis, tetapi mempunyai ide juga penting, agar seniman dapat berkreasi menciptakan yang baru atau yang belum ada.
Kalau di zaman kontemporer sekarang ini, para pelukis banyak idenya, tetapi mereka mempunyai tantangan baru, apakah idenya itu menarik atau tidak. Saya sering melihat lukisan yang itu-itu saja, mencoba imajinatif tetapi membosankan. Misalnya, saya kerap melihat lukisan pisang raksasa yang mengambang atau melayang di udara, ala Rene Magritte. Di bawahnya digambarkan pemandangan alam seperti gunung, sawah atau hutan. Secara teknik bagus tetapi secara ide tidak kreatif. Belum lagi pada bagian tengah dari lukisan itu diberi teks “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Terus terang karya lukis seperti itu terlihat agraris dan dekaden. Memang mencari hal baru itu tidak mudah. Tetapi sekarang ini dengan adanya internet, seharusnya akan banyak ide muncul setiap hari jika kita membrowsing dunia maya.

Melukis juga dapat mengambil tema yang sudah banyak dikerjakan orang tetapi dengan sudut pandang baru. Misalnya, mari kita melukis tentang Adam dan Hawa. Kita tahu bahwa ketika mereka bertemu, saling tergoda dan mencoba-coba, yang akhirnya mereka terlempar ke dunia. Kita juga dapat mengangkat kembali elemen-elemen yang sudah ada pada kitab suci dan menyusunnya dengan komposisi baru. Soal Adam yang tergoda oleh Hawa atau sebaliknya, biasanya terhubung dengan beberapa image seperti buah apel, buah kuldi — sebagai sarana deception, ular – sebagai perlambang kejahatan, racun atau setan, dan binatang seperti domba, badak, Minotaur – sebagai lambang nafsu. Tinggal bagaimana kita memvisualkan relasi keduanya. Saya memilih adegan ketika Adam menyentuh Hawa, di mana Hawa juga tergelinjang menikmati, sampai tubuhnya meliuk. Diperlukan sebuah skets untuk mematangkan ide tersebut. Dan pada akhirnya kalau sudah mantap apa yang kita pikirkan, tinggal dipindahkan ke kanvas melalui grid.

Selanjutnya tinggal eksekusi yang membutuhkan keterampilan atau Craftmanship yang menyangkut tata warna, akurasi, keluwesan, harmoni, komposisi, dan pada akhirnya keindahan atau estetika. Di dalam eksekusi tentu saja akan ada pergeseran, perubahan, variasi, yang barangkali berbeda dengan rencana awal. Justru seni itu bukan hanya sekedar ide tetapi juga bagaimana mengeksekusinya kelak di atas media, dalam hal ini kanvas. Ide yang bagus menjadi kurang berarti jika tidak digarap secara baik atau tidak disertai craftmanship yang memadai.

Eksekusilah yang menjadikan suatu karya menjadi berbeda dengan rencana awal, karena adanya unsur pemilihan warna, penambahan detail-detail tertentu, dan ide tambahan di dalam pelaksanaannya. Dengan itu suasana Adam dan Hawa tidak lagi di atas bumi, ia seperti ada di setengah surga dengan pemilihan awan dan alas yang berkabut. Boleh dikatakan karya seni itu suatu kisah perjalanan yang terentang dari ide atau gagasan, pembuatan rencana, sampai eksekusi. Tidak langsung jadi tetapi ada lika-likunya yang sangat ditentukan oleh craftmanship.***