VISI.NEWS | KORSEL – Mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, kembali menuduh oposisi sebagai penyebab pemakzulannya, menyebut mereka sebagai pihak yang “jahat” karena menolak bekerja sama dengannya selama masa pemerintahannya.
Pada 3 Desember 2024, Yoon mengumumkan darurat militer, menangguhkan pemerintahan sipil dan mengerahkan pasukan ke parlemen. Langkah kontroversial ini memicu krisis politik yang berujung pada pemakzulan cepat oleh parlemen yang dikuasai oposisi. Keputusan itu hanya bertahan enam jam sebelum dibatalkan dengan suara mayoritas.
Akibat tindakannya, Yoon ditangkap pada Januari 2025 dengan tuduhan pemberontakan, menjadikannya presiden pertama Korea Selatan yang ditangkap saat masih menjabat. Saat ini, ia rutin menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi, yang akan menentukan keabsahan pemakzulannya.
Yoon mengklaim bahwa oposisi tidak menghormatinya sebagai presiden. Ia menyoroti boikot terhadap pidatonya di parlemen, serta perlakuan dingin dari anggota parlemen oposisi yang enggan berjabat tangan dengannya.
“Seberapa pun mereka membenci saya, prinsip dasar dari dialog dan kompromi adalah mendengarkan saya dan memberikan tepuk tangan untuk pidato anggaran saya di parlemen,” kata Yoon, seperti dikutip dari CNA, Rabu (12/2/2025).
Yoon membela keputusannya mendeklarasikan darurat militer, dengan alasan bahwa oposisi merupakan “elemen anti-negara” yang berupaya menggulingkan pemerintahannya. Namun, ia membantah tuduhan pemberontakan dengan menyatakan bahwa perintah penangkapan anggota parlemen tidak pernah benar-benar dilaksanakan.
Sidang terakhir pemakzulan dijadwalkan pada Kamis (13/2/2025), setelah itu Mahkamah Konstitusi akan memberikan putusan final. Jika pemakzulan Yoon disahkan, Korea Selatan harus menggelar pemilihan presiden baru dalam 60 hari.
Selain pemakzulan, Yoon menghadapi ancaman hukuman berat atas tuduhan pemberontakan, yang dapat berujung pada hukuman penjara atau bahkan hukuman mati. @ffr