Search
Close this search box.

Bill Gates Soroti Dampak Minyak Sawit dan Produksi Lemak terhadap Perubahan Iklim

Mantan CEO Microsoft, Bill Gates./visi.news/facebook.

Bagikan :

VISI.NEWS | JAKARTA – Tanda-tanda “kiamat” mulai terasa akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin nyata. Bill Gates, pendiri Microsoft yang kerap berbicara tentang isu lingkungan, baru-baru ini membagikan pandangannya dalam blog pribadinya pada Februari 2024. Dalam tulisan tersebut, Gates mengungkapkan bahwa aktivitas manusia menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca setiap tahun, dengan 7% di antaranya berasal dari produksi lemak hewan dan tumbuhan.

“Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka tersebut ke nol,” kata dia, dikutip dari blog personalnya, Jumat (22/11/2024).

Namun, ia menyadari bahwa menghilangkan konsumsi lemak hewan tidak realistis, karena lemak tersebut memberikan nutrisi penting bagi manusia. Sebagai solusi, Gates mendukung startup ‘Savor’, yang menciptakan lemak melalui proses inovatif menggunakan karbondioksida dan hidrogen, tanpa menghasilkan emisi atau membahayakan hewan.

Selain itu, Gates juga menyoroti dampak buruk dari produksi minyak sawit, yang merupakan lemak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia. Proses pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di daerah-daerah tropis, termasuk Indonesia, menyebabkan deforestasi besar-besaran dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pada 2018, kerusakan yang terjadi di Malaysia dan Indonesia menyumbang sekitar 1,4% emisi global, lebih besar dari seluruh emisi industri penerbangan dunia.

“Saat ini, minyak sawit adalah lemak nabati yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia. Sebagian ditemukan pada makanan sehari-hari seperti kue, mie instan, krim kopi, makanan beku, hingga makeup, sabun badan, odol, deterjen, deodoran, makanan kucing, formula bayi, dan sebagainya. Bahkan, minyak sawit juga digunakan untuk biofuel dan mesin diesel,” ia menuturkan.

“Hal ini menyebabkan penggundulan hutan di area-area khatulistiwa untuk mengonversinya menjadi lahan sawit,” kata Gates.

Baca Juga :  Minyak Jelantah, Limbah Dapur yang Menjadi Peluang Ekonomi Besar bagi Indonesia

“Pada 2018, kehancuran yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global. Angka itu lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir sama besarnya dengan industri penerbangan di seluruh dunia,” Gates menjelaskan.

Meskipun minyak sawit sulit digantikan karena sifatnya yang murah dan serbaguna, Gates menjelaskan bahwa ada perusahaan seperti C16 Biosciences yang tengah mengembangkan alternatif minyak sawit yang dihasilkan melalui fermentasi mikroba tanpa menghasilkan emisi. Dengan inovasi ini, Gates berharap dampak perubahan iklim dapat diminimalisir, dan kehidupan manusia tidak semakin terancam.

“Minyak sawit juga satu-satunya minyak nabati dengan keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama, itulah sebabnya minyak ini sangat serbaguna. Jika lemak hewan adalah bahan utama dalam beberapa makanan, maka minyak sawit adalah pemain tim yang dapat bekerja untuk membuat hampir semua makanan dan barang-barang non-makanan menjadi lebih baik,” Gates menjelaskan. @ffr

Baca Berita Menarik Lainnya :