Search
Close this search box.

Dari Sampah Ke Gaya: Perjalanan Pakaian Bekas di Mata Pedagang Thrift

Pasar thrifting Gedebage./visi.news/ist.

Bagikan :

VISI.NEWS | BANDUNG – Di balik hiruk-pikuk pasar thrifting Gedebage, tersembunyi sebuah sistem jual beli barang bekas yang lebih kompleks dari sekadar transaksi sederhana. Pasar yang terletak di kawasan Bandung ini, yang kini menjadi salah satu pusat thrifting terbesar di Indonesia, tidak hanya menawarkan barang murah, namun juga mengungkap praktik yang mempengaruhi ekonomi lokal hingga keberlanjutan lingkungan.

Investigasi ini berusaha menggali lebih dalam tentang asal-usul barang-barang yang dijual, siapa saja yang terlibat dalam rantai pasokannya, dan bagaimana pasar ini mampu bertahan di tengah persaingan ritel modern. Dari pedagang kecil hingga pengunjung setia, Gedebage menjadi simbol bagaimana pasar thrifting berkembang pesat, menandai perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang semakin sadar akan keberlanjutan.

Bisnis pakaian bekas atau thrifting memang sedang naik daun. Namun, di balik tren ini, ada perjalanan panjang yang tak banyak diketahui, bagaimana pakaian bekas ini masuk ke Indonesia, tantangan yang dihadapi pedagang, hingga pertarungan mereka melawan regulasi pemerintah.

Dari Mana Pakaian Thrift Berasal? 

Pakaian yang dijual di thrift shop berasal dari berbagai negara seperti Korea Selatan, Cina, Jepang, dan Thailand. hingga limbah industri fashion. Meski pemerintah melarang impor pakaian bekas, kenyataannya barang-barang ini tetap membanjiri pasar.

“Semua barang datang dari luar negeri, biasanya masuk lewat jalur laut dengan titik akhir perjalanannya di Batam” ungkap MA, seorang pemasok yang sudah empat tahun menjalankan bisnis ini.

“Semua barang itu tuh transit dulu di Malaysia, biayanya (ongkir) bisa sampai 100 juta an”, lanjutnya.

MA menjelaskan, bahwa pakaian ini biasanya dibeli dalam jumlah besar, dihitung per bal (karung besar berisi pakaian bekas), tanpa mengetahui pasti isi dalam bal-balan.

Baca Juga :  Trump Perintahkan Pembangunan Sistem Pertahanan Iron Dome di Amerika

“Kadang dapat barang bagus, kadang juga banyak yang rusak. Isian tuh bal tergantung harga bal-nya juga” katanya.

Selain pemasok besar, ada juga pedagang yang hanya menjual barang barang bekas dari bal-balan.

“Saya biasa langsung beli satu bal. Lebih murah soalnya dibanding beli satu satu, tapi ya kualitasnya random” ujar MY (20), pemilik toko thrift di Gedebage.

Antara Keuntungan dan Tantangan

Mayoritas pedagang di pasar ini menjual pakaian bekas impor, yang saat ini sedang menjadi tren di kalangan masyarakat. Bisnis ini dianggap menguntungkan bagi pedagang karena mendapatkan barang dengan harga murah, sementara pembeli bisa mendapatkan pakaian bermerek dengan harga terjangkau.

Namun, pemerintah melarang kegiatan thrifting karena dianggap merugikan industri tekstil dalam negeri. Larangan ini berujung menjadi tantangan bagi para pedagangan Pasar Cimol Gedebage dikarenakan membuat para pedagang menjadi was-was.

Meski demikian, para pedagang tetap menjalankan aktivitas berdagang seperti biasanya dan mulai melakukan kegiatan berdagang seterusnya.

“Iya, waktu itu terdapat razia besar-besaran. Tapi ya, kalau yang eceran seperti kami ini tidak masalah. Sekarang yang kena itu yang punya gudang besar,” ujar Bapak Ian (72), seorang pedagang pakaian bekas di Pasar Cimol Gedebage, Kamis (29/1/2025).

Strategi Pedagang untuk Bertahan

Di balik ramainya pasar thrifting Gedebage, pedagang barang bekas kini menghadapi persaingan sengit dengan toko online yang terus berkembang pesat.

Meskipun pasar ini tetap menarik bagi konsumen yang ingin merasakan langsung berbelanja dan berburu barang unik, keberadaan platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, hingga Instagram, telah mengubah pola konsumsi. Banyak pedagang yang terpaksa mengikuti tren digital dengan membuka toko online, meskipun mereka harus bersaing ketat dengan pedagang lainnya yang lebih berpengalaman dalam dunia maya.

Baca Juga :  KAJIAN | Tabarruk

Tidak hanya itu, toko online juga menawarkan kemudahan dalam pengiriman dan pilihan barang yang lebih variatif, membuat banyak konsumen enggan untuk datang ke pasar fisik. Lantas, bagaimana para pedagang di Gedebage bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat antara pasar tradisional dan kemudahan belanja digital ini?

“Sekarang nggak bisa asal jual barang bekas. Harus dipilih yang bagus, dicuci ulang karena ga jarang konsumen ada yang sensitif sama bahan barang yang saya jual” ujar MY.

Banyak pedagang bahkan menciptakan branding tersendiri agar produk mereka terlihat lebih eksklusif. “saya sih fokusnya jual kemeja, jadi kalau disebut branding, branding toko saya ya kemeja” tambah MY.

Pedagang vs Regulasi: Adakah Jalan Tengah?

Larangan impor pakaian bekas atau thrifting yang ditetapkan oleh pemerintah terus menuai penolakan dari sejumlah pedagang pakaian bekas impor. Mereka tidak hanya menentang kebijakan tersebut, tetapi juga mengeluhkan kurangnya solusi dari pihak pemerintah terkait dampak larangan ini terhadap mata pencaharian mereka.

Seorang pedagang pakaian bekas impor di Bandung mengungkapkan kebingungannya terkait kebijakan ini.

“Ya gimana, ini (pakaian bekas impor) kan sudah lama berjalannya, kita pun sebagai pedagang jadi bingung, kenapa selama ini dibiarin,” ujar Bapak Ian (72), seorang pedagang pakaian bekas di Pasar Cimol Gedebage.

“Kita juga mengerti maksud dari pemerintah, tapi kok selama ini dibiarin, jadinya termasuk pembiaran, kan? Kenapa enggak dari dulu? Jadi sekarang gimana solusinya?,” lanjutnya.

Pemberitaan mengenai larangan thrifting sempat ramai di awal-awal kebijakan ini diberlakukan. Namun, seiring berjalannya waktu, pemberitaan tersebut mulai menurun. Meski demikian, para pedagang masih merasa resah dan tidak aman dalam berdagang.

“Iya, waktu dulu pas 2023 sempat ramai sekali, tetapi sekarang berita mengenai ini sudah tidak saya temukan lagi,” lanjut pedagang tersebut.

Baca Juga :  Kenapa Orang Indonesia Gemar Makanan Pedas? Ini Alasannya!

“Kita, ya namanya pedagang, dilarang ya enggak senanglah. Tetapi kita mengerti maksud dari pemerintah, cuma ya kenapa enggak dari dulu?,” sambungnya.

Masa Depan Bisnis Thrifting di Indonesia

Perjalanan pakaian bekas yang awalnya dianggap sebagai barang sisa kini telah berubah menjadi bagian dari gaya hidup yang digemari banyak orang, termasuk pedagang di pasar thrifting Gedebage. Para pedagang, yang sebelumnya hanya mengandalkan pasar tradisional, kini menghadapi tantangan baru dengan berkembangnya e-commerce yang membuat barang bekas lebih mudah diakses dari mana saja.

Namun, mereka tidak menyerah begitu saja. Banyak yang mulai memanfaatkan media sosial dan platform online untuk memperluas jangkauan pasar mereka, meskipun persaingan semakin ketat. Inovasi dalam strategi pemasaran dan pelayanan menjadi kunci utama bagi mereka untuk tetap relevan di tengah perubahan tren dan teknologi.

Di sisi lain, pasar thrifting Gedebage tetap mempertahankan daya tariknya dengan menawarkan barang-barang yang tidak dapat ditemukan di toko retail biasa.

Meskipun dunia digital menawarkan kenyamanan dan kemudahan, nilai-nilai seperti keberlanjutan dan keunikan yang ditawarkan oleh pakaian bekas tetap menjadi alasan utama bagi banyak konsumen untuk terus berburu di pasar ini.

Bagi para pedagang, keberhasilan tidak hanya diukur dari transaksi yang terjalin, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk beradaptasi dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan, baik secara langsung maupun daring. @ilham

Baca Berita Menarik Lainnya :