Search
Close this search box.

Diaba Konate: Perjuangan Atlet Basket Berhijab di Tengah Larangan Federasi Prancis

Bagikan :

VISI.NEWS | PARIS – Di tengah teriknya Kota Paris, Diaba Konate tampak melambai dan tersenyum lebar ketika berjalan menuju tempat kami bertemu di sekitar Louvre. Bola basket adalah olahraga kegemaran atlet dengan kostum bernomor punggung 23 ini. Perempuan berusia 23 tahun ini baru saja kembali ke kota asalnya setelah hampir enam tahun di Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, Konate berkuliah dengan beasiswa penuh dari Idaho State University dan memiliki karier basket yang cemerlang. Posisinya dalam tim adalah sebagai point guard. Setelah itu, dia pindah ke UC Irvine, tempat ia berkontribusi membantu tim masuk ke turnamen bola basket mahasiswa di AS, NCAA, untuk pertama kalinya sejak tahun 1995.

Konate muncul sebagai bintang yang sedang naik daun bersama tim nasional muda Prancis, yang pernah memenangkan medali perak dalam basket 3×3 di Olimpiade Remaja Buenos Aires 2018. Bagi Konate, pengalaman itu adalah “kenangan terbaik” dalam kariernya. Dia ingin pengalaman indah itu kembali terulang di Olimpiade Paris.

Namun, perasaannya kini campur aduk. Dia dilarang bertanding di negara asalnya sendiri yang tahun ini menjadi tuan rumah Olimpiade. Alasannya? Karena dia mengenakan hijab. Ketika Konate pulang untuk bermain di turnamen 3×3 pada liburan musim panas tahun lalu, dia baru mengetahui bahwa dia dilarang masuk ke lapangan. Pada 2022, Federasi Bola Basket Prancis (FFBB) secara tegas melarang atribut apapun yang “berkonotasi religius atau politis.”

“Saya tidak percaya,” kata Konate. Awalnya, dia mengira “itu hanya lelucon”. “Bagaimana bisa itu terjadi pada saya? Saya kira kami adalah keluarga. Rasanya seperti, ini saya, teman-teman. Kita biasa bermain bersama, saya adalah bagian dari kalian. Saya masih orang yang sama, tidak ada yang berubah,” ujarnya. “Hati saya benar-benar hancur.”

Konate memutuskan untuk mengenakan hijab ketika dia berada di AS saat puncak pandemi. “Selama tiga tahun terakhir, hijab menjadi bagian dari diri saya,” tuturnya. “Saya mengalami masa-masa sulit dan membutuhkan harapan. Saya merefleksikan diri saya dan identitas saya ketika semuanya terasa tidak pasti dan saya merasa kesepian.”

“Saya terlahir sebagai seorang Muslim, jadi saya ingin belajar lebih banyak tentang agama saya dan akhirnya saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan saya.” Sangat munafik bagi Prancis menyatakan diri sebagai negara kebebasan, negara hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama, mereka tidak mengizinkan Muslim atau warganya untuk menunjukkan jati diri mereka,” kata Konate.

Baca Juga :  Jadwal SIM Keliling Kabupaten Sumedang Hari Ini, Sabtu 5 Juli 2025

Kisah serupa yang dialami oleh Konate telah menjadi lumrah pada semua level bola basket di bawah naungan FFBB. Akses dan kesempatan untuk berlatih hingga berkompetisi bagi pemain berhijab telah dibatasi. Situasi ini bahkan berdampak bagi kesejahteraan sosial mereka.

Di sebuah lapangan basket di salah satu distrik di Paris, Salimata Sylla, menginisiasi sebuah “ruang aman” bagi semua perempuan yang punya minat olahraga, terlepas mereka mengenakan hijab atau tidak. Ruang aman itu dia beri nama ‘Ball.Her’. Sebanyak 60 perempuan telah ikut serta dalam setiap sesi sejak pertama kali diadakan tahun lalu.

“Saya berada di sini hari ini karena basket,” kata Sylla. “Basket adalah segalanya bagi saya. Basket bukan sekadar kosa kata, basket telah menyelamatkan hidup saya. Saya tinggal di lingkungan yang penuh dengan narkoba. Basket membantu saya menjadi orang yang lebih baik, disiplin dalam hidup dan menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri.”

Sylla pernah bergabung dengan tim liga Prancis Aubervilliers, namun dia sudah tidak bermain bersama mereka selama lebih dari setahun. Pada Januari 2023, beberapa saat sebelum Sylla akan menjadi kapten Aubervilliers, pelatihnya menyampaikan kabar bahwa wasit hanya akan mengizinkan dia masuk ke lapangan kalau dia melepas hijabnya.

Sebagai seorang Muslimah yang telah bermain mengenakan hijab selama tiga tahun, itu bukanlah pilihan bagi Sylla. Dia pernah mengatakan kepada ofisial pertandingan, “Anda akan melihat saya berhijab seperti ini, Anda tidak akan melihat penampilan saya dalam bentuk lain.”

“Saya dipermalukan di depan semua orang”. Ini adalah negara kelahiran saya, dan pada hari itu, mereka mencadangkan saya,” katanya. Sylla akhirnya hanya duduk di bangku cadangan dan menyaksikan tim bermain tanpa dirinya, setelah menempuh perjalanan selama tiga jam dari Paris ke wilayah utara Prancis.

Baca Juga :  260 Makam di Sukabumi Dibongkar Karena Terdampak Proyek Tol Bocimi Seksi 3

Dia sangat ingin menantang ketidaktahuan soal hijab. “Mereka mengira kalau Anda mengenakan hijab, Anda hanya akan berada di dapur dan tidak melakukan apa-apa dalam hidup.” Saya adalah contohnya. Saya bukan hanya seorang Muslim, saya bukan hanya seorang perempuan berhijab. Saya adalah seorang pengusaha, saya bekerja di bidang pemasaran, saya memiliki gelar master, dan saya juga bermain basket, jadi kenapa mereka meminggirkan saya?”

Sejak undang-undang kontroversial untuk melawan “separatisme Islam” disahkan tiga tahun lalu, banyak aspek kehidupan masyarakat Prancis yang terpengaruh. Salah satunya kompetisi olahraga. Larangan berhijab tidak cuma berlaku untuk pemain, tetapi juga untuk pelatih dan wasit. Siapa pun yang mengenakan hijab, tidak bisa masuk ke ruang kompetisi.

Ini telah terjadi selama bertahun-tahun di semua level di bawah Federasi Sepak Bola Prancis (FFF). Padahal satu dekade lalu, FIFA sudah mencabut aturan mereka yang dulunya melarang menggunakan penutup kepala. Federasi Bola Basket Internasional (FIBA) juga mencabut larangan serupa pada tahun 2017. Pencabutan aturan-aturan internasional itu adalah terobosan setelah para olahragawan Muslim mengkampanyekannya selama bertahun-tahun.

Ironisnya, ketika Olimpiade Paris mencetak sejarah sebagai yang pertama mencapai kesetaraan gender dalam bidang olahraga, perempuan-perempuan Muslim Prancis justru dihambat untuk berkompetisi di negara mereka sendiri. Amnesty International menyebut situasi ini sebagai “pelanggaran hak asasi manusia” yang berdampak “sangat buruk”.

Ini adalah bencana bagi olahraga Prancis, bagi olahraga perempuan,” kata Helene Ba. Sama seperti Sylla, Ba juga memiliki pengalaman traumatis sehingga dia mendirikan Basket Pour Toutes (Basket Untuk Semua). Basket Pour Toutes didedikasikan untuk mengatasi diskriminasi dalam dunia basket.

“Saya tidak selalu setuju dengan kata ‘pilihan’,” kata Ba merujuk pada situasi yang dihadapi para pemain perempuan Muslim. “Kata ‘pilihan’ membuat situasinya seolah setara atau adil, padahal tidak. Mereka tidak ingin kami memilih, mereka hanya ingin kami melupakan identitas dan keyakinan kami, jadi itu bukan pilihan.” Saya tidak akan pernah mengorbankan keyakinan atau nilai-nilai saya, terutama karena saya tahu bahwa ini adalah aturan yang tidak adil,” sambungnya.

Baca Juga :  Menag Nasaruddin: Generasi Milenial Jangan Ragu Menikah Secara Sah

Pada September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mengonfirmasi bahwa hijab dilarang untuk semua tim Prancis di Olimpiade, di bawah prinsip-prinsip sekularisme Prancis, yakni laicite. Kebijakan tersebut dikritik oleh Kantor HAM PBB dan Komite Olimpiade Internasional (IOC). IOC kemudian menyatakan bahwa hijab diperbolehkan di dalam kampung atlet.

Pada April, Ketua Olimpiade Paris Tony Estanguet mengatakan kepada Editor Olahraga BBC, Dan Roan, bahwa “terserah pada negara, delegasi dan Komite Olimpiade Nasional untuk memutuskan bagi para atlet jika mereka ingin aturan lain diberlakukan atau tidak”. Dia juga menegaskan bahwa “tidak ada yang melanggar dari delegasi Prancis. Ini adalah keputusan mereka”.

Laicite sering diterjemahkan sebagai sekularisme dalam bahasa Inggris. Laicite tidak mengharuskan masyarakat Prancis untuk meninggalkan simbol-simbol keagamaan, tetapi sebaliknya, negara dan lembaga-lembaga publik harus bebas dari simbol-simbol tersebut. Ini adalah identitas utama Prancis yang berasal dari hukum tahun 1905 ketika gereja dipisahkan dengan negara.

Namun pegiat HAM mengkritik cara-cara penafsiran konsep laicite di Prancis saat ini. Ba, yang memiliki spesialisasi dalam bidang HAM dan hukum kemanusiaan, mengatakan bahwa laicite “sangat disalahpahami” dan “tidak berlaku di atas HAM”. “Konsep ini telah menjadi alat untuk menghapus semua perbedaan, khususnya identitas Muslim, dan lebih spesifik lagi perempuan yang mengenakan jilbab,” kata Ba.

“Beberapa dari kami menjadi aktivis karena aturan ini, tapi yang ingin saya tekankan adalah kami tidak diberi solusi, terutama perempuan Muslim muda karena mereka tidak tahu alasan mereka dikucilkan.” Ketika sebuah aturan menargetkan kelompok minoritas dan menciptakan diskriminasi serta melanggar hak-hak orang, maka hal itu harus menjadi perhatian semua orang. Jika hari ini targetnya adalah kami, besok bisa saja Anda.”

“Kami tumbuh tanpa panutan, dan kami tidak akan pernah memiliki panutan seorang atlet berhijab Prancis yang memiliki tim nasional kalau aturan ini tetap berlaku,” kata Ba.

Konate masih menimbang-nimbang apakah dia akan meneruskan karir basketnya. Namun dalam pertandingan-pertandingan Olimpiade, dia tidak akan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi. “Saya berusaha menerima apa yang terjadi,”

@shintadewip

Baca Berita Menarik Lainnya :