VISI.NEWS – beberapa hal pokok untuk memotong rantai radikalisasi yaitu mengenali ciri-ciri awal seseorang mengalami radikalisasi, mengajak dialog dan memberikan kontra narasi (pemahaman dan penafsiran kontra) terhadap narasi yang dipegang/diyakini sebagai narasi radikal.
“alam konteks keluarga, orangtua harus bisa memutus komunikasi antara anak dengan kelompok yang terindikasi memiliki pandangan radikal-ekstrim dan menjauhkan anak dari kelompoknya tersebut,” ungkap Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz.
Darraz mengungkapkan pendapatnya itu dalam alam Webinar bertema ‘Melawan Intoleransi dan Kekerasan: Apa yang Bisa Dilakukan Keluarga dan Komunitas?’ yang diselenggarakan Perkumpulan Amerta, Kamis (8/4/2021)
Aksi teror yang terjadi di Indonesia sejak 2010 mengalami memiliki karakteristik dilakukan oleh kelompok kecil atau individu, mempergunakan senjata ringan dan/atau peledak berdaya ledak rendah, melibatkan perempuan dan anak-anak, serta proses ekstremisasi terjadi melalui internet. Aksi teror merupakan konsekuensi yang sulit dihindarkan dari berkembangnya intoleransi di Indonesia. Menjadi keprihatinan bersama bahwa sekolah menjadi salah satu tempat berkembangnya intoleransi (Lakip, 2015; Setara Institute, 2015; Wahid foundation, 2016, PPIMConvey, 2017; Maarif institute, 2011 & 2017; BNPT, 2020).
Disinyalir, katanya, terjadi peningkatan potensi radikalisme di kalangan perempuan, masyarakat urban, generasi muda, para netizen yang aktif mencari dan menyebarkan konten keagamaan di medsos. Potensi ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya penegakan hukum yang belum konsisten, sikap diam/toleran terhadap tindak intoleransi, pengondisian melalui kebijakan dan pernyataan figur publik yang diskriminatif.
Keluarga dan sekolah, kata pembicara lainnya Dhestina Religia M dari IAIN Surakarta, mengatakan bahwa pada saat yang sama keluarga adalah korban dan sekaligus aktor perubahan. Keluarga perlu menjadi tempat berkembangnya nilai-nilai dan identitas kemanusiaan dan kebangsaan, sikap kritis dan terbuka, serta penghormatan pada keberagaman. Sekolah perlu menjadi tempat memutus mata rantai radikalisasi dengan meninjau kembali materi ajar dan pengajar, kebijakan sekolah, kegiatan intra dan ko-kulikuler, serta kegiatan ekstrakulikuler.
“Beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan keluarga untuk mereduksi paham-paham intoleran dan radikal adalah melalui peningkatan bounding dengan keluarga. Pentingnya penanaman nilai agama dan kebangsaan kepada anak sejak kecil karena aka nada tahap rekonstruksi pemahaman agama di masa remaja. Penting pula membentuk personal identity yang kuat sedini mungkin,” katanya.
Sinergisitas antar pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk menghadapi persoalan radikalisme dan intoleransi. Peran stategis keluarga dan sekolah akan efektif memutus rantai perkembangan intoleransi dengan paket tindakan kekerasannya, apabila terumuskan dalam kebijakan politik dan program yang mampu dilaksanakan dari level pusat sampai ke daerah.
Webinar dibuka oleh Ketua Perkumpulan Amerta, Riza Primahendra, dengan narasumber Muhammad A Darraz (PP Muhammadiyah), Dhestina Religia M (IAIN Surakarta), dan Tri Guntur Narwaya (Mindset Institute). @mpa