VISI.NEWS | JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menemukan anomali atau ‘keganjilan’ di sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SDA) namun memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Hal ini terungkap dalam acara Focus Group Discussion (FGD) terkait Tata Kelola Pertambangan (Minerba dan Migas) yang membahas kontribusinya bagi penerimaan negara dan perspektif tindak pidana di bidang pertambangan di Palembang, Sumatera Selatan.
“Berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang menyimpulkan adanya anomali terhadap pengelolaan sumber daya alam di sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam justru angka kemiskinannya cukup tinggi, salah satunya adalah Provinsi Sumatera Selatan,” kata Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, M. Idris F. Sihite, seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM, Minggu (21/7/2024).
Provinsi Sumatera Selatan, yang memiliki kekayaan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton dengan produksi batu bara pada tahun 2023 sebanyak 104,68 juta ton, menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 9,898 triliun (iuran tetap Rp 66,4 miliar dan royalti Rp 9,832 triliun). Namun, kekayaan ini dianggap tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi ini. Menurut Sihite, salah satu penyebab utama dari anomali ini adalah banyaknya pertambangan tanpa izin (PETI) yang mencari keuntungan sesaat tanpa mematuhi kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab.
“Provinsi Sumsel merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus (lex spesialis) di luar KUHP yang memuat sanksi pidana,” ujar Sihite.
Sihite juga mengharapkan kepada para jaksa yang hadir dalam FGD untuk melakukan reformulasi strategi pengungkapan perkara pertambangan tanpa izin (PETI) berbasis scientific evidence dan ‘catch the big fish’. “Semua komoditas tambang punya identitas seperti DNA, sehingga dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan scientific evidence, yang basisnya terukur di laboratorium. Bukti ilmiah merupakan bukti yang tidak terbantahkan untuk menghitung kerugian negara dari praktik pertambangan ilegal,” jelasnya.
Dalam penghitungan dampak kerugian negara, Sihite menyatakan bahwa Kementerian ESDM memiliki kemampuan untuk mengungkap data baku yang terukur dan komprehensif guna membuktikan kerugian negara secara riil, bukan sekadar perkiraan. Ia juga meminta para jaksa untuk mengubah cara pengungkapan perkara, dengan membalik pengungkapan perkara dari hilir dan memutus rantai pasokan dari end user sampai dengan kilang ilegal.
Selain itu, Sihite menyarankan pengungkapan berbasis anti money laundering (AML) dan follow the money dengan mengintegrasikan fungsi dan kewenangan pihak-pihak terkait. “Opsi tindakan hukum lainnya bersifat non pidana secara kumulatif maupun terpisah, untuk memulihkan kerugian negara dan ‘memaksa’ para pelaku mematuhinya (terutama untuk kasus reklamasi tambang),” tambahnya.
@shintadewip