Oleh Idat Mustari
BULAN Ramadan memberi pelajaran kepada kita tentang cinta dan mengenal Allah. Karena cinta kita kepadaNya, maka kita setia untuk tidak makan dan minum, sejak terbitnya fajar (Subuh) hingga matahari terbenam (Maghrib).
Kita diajak untuk semakin mengenalNya. Bahwa, Dia Maha Melihat. Maha mengawasi. Hingga kita tak berani memasukan air, makanan ke dalam mulut. Meski pun tak seorang pun manusia melihatnya.
Kita seperti seorang pengembala yang mampu berkata : fa ainallah (di mana Allah)? kepada Khalifah Umar bin Khattab yang sedang menguji dirinya agar menjual salah satu kambing milik Tuannya.
Manusia tak akan pernah ada yang mampu mengenal Allah dengan sempurna. Seperti tersirat dalam doa Nabi saw, “Ya Allah, kami tak sanggup untuk memujiMu, sebagaimana engkau memuji diriMu sendiri”.
Meski demikian, tentu Nabi SAW adalah yang paling mengenal Allah dibandingkan siapapun. Rasulullah SAW bersabda, “Akulah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepada-Nya” (HR Bukhari dan Muslim).
Kualitas, kadar seseorang dengan lainnya dalam mengenal Allah, sangat ditentukan oleh ilmu dan kedekatan dirinya dengan Allah. “Pengetahuan manusia tentang Allah, merupakan pengalaman pribadi. Setiap orang mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda”. Tulis Ahmad Bahjat dalam bukunya Allah fi al-Aqidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tauhid = Mengenal Allah Risalah Baru tentang Tauhid.
Begitu pun bangsa yang kaya raya ini, sulit maju karena begitu rendahnya kualitas, kadar mengenal Allah, hingga tak takut lagi padaNya. Seperti kata Salim Said, “Indonesia tidak akan bisa menjadi negara maju, selama Tuhan tak lagi ditakuti oleh para pejabat di negeri ini”.
Semoga, puasa tahun ini menambah rasa kecintaan kita kepadaNya, dan semakin mengenalNya. “Ilahi anta ma’sudi wa ridlha matlubi, atini mahabbataka wa ma’rifataka”.***
(Penulis, aktifis dan pemerhati sosial agama)