Search
Close this search box.

Ketahanan Iklim Jalan Inklusif untuk Menghadapi Bencana Iklim

Penyandang disabilitas harus menjadi bagian dari aksi iklim yang inklusif "Berdagang Keripik" oleh MoFCREC Monash University Indonesia.

Bagikan :

  • Penyandang disabilitas harus menjadi bagian dari aksi iklim yang inklusif.

Oleh Eka Permanasari dan Welmince Djulete (Monash University Indonesia), Sharyn Davies, (Monash University), Rafika Nurul Hamdani Ramli, (Universitas Hasanuddin), Serpong

AKSI iklim yang inklusif harus melibatkan penyandang disabilitas dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi untuk memastikan suara mereka didengar.

“Meskipun saya tidak memiliki lengan yang berfungsi dengan baik, saat badai Seroja saya masih bisa menggunakan kaki saya untuk berlari. Saya tidak tahu bagaimana nasib teman-teman penyandang disabilitas lainnya, terutama mereka yang bergantung pada kursi roda dan kruk… Kita harus memiliki kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang rentan seperti ini.”

Ketika Anda mendengar laporan orang pertama dari penyandang disabilitas saat terjadi bencana cuaca, seperti yang terjadi pada Topan Seroja yang melanda provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2021, hal ini memperbesar tantangan – dan kerentanan – penyandang disabilitas dalam peristiwa iklim ekstrem.
Penyandang disabilitas di Indonesia, yang seringkali hidup di bawah garis kemiskinan nasional, adalah kelompok yang paling terkena dampak bencana.

Data menunjukkan mereka menderita hingga empat kali lebih banyak dibandingkan masyarakat umum.
Survei Global tahun 2023 mengenai penyandang disabilitas dan bencana menunjukkan bahwa 84 persen tidak memiliki rencana kesiapsiagaan pribadi menghadapi bencana. Bahkan dengan peringatan evakuasi yang memadai, hanya 39 persen yang tidak mengalami kesulitan dalam melakukan evakuasi, 38 persen mengalami kesulitan dalam melakukan evakuasi, 17 persen mengalami banyak kesulitan dalam melakukan evakuasi, dan 6 persen tidak dapat melakukan evakuasi sama sekali.

Tantangan Indonesia

Dengan 76 gunung berapi aktif dan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia menghadapi tantangan finansial dan fisik yang signifikan dalam pengelolaan dan mitigasi bencana.

Bekerja sama dengan Kantor Pengurangan Risiko Bencana PBB, Indonesia kini memiliki Integrasi Perlindungan, Gender dan Inklusivitas (PGI) dalam rencana Aksi Antisipatif. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pengumpulan dan penggunaan data gabungan gender, usia dan disabilitas dalam sistem informasi gabungan untuk perlindungan sosial tanggap bencana. Namun rencana tersebut tidak mudah dilaksanakan.

Topan Seroja menewaskan 181 orang, menyebabkan 47 orang hilang dan 225 orang luka-luka. Selain itu, 58.914 orang mengungsi dan ribuan rumah hancur.

Di pulau lain, kota pesisir Makassar juga rentan terhadap bencana terkait iklim seperti banjir di musim hujan dan kekurangan air bersih di musim kemarau.

Pulau Lombok, di provinsi Nusa Tenggara Barat, terkena dampak kenaikan permukaan air laut dan efek El-Nino, yang berkontribusi terhadap kegagalan panen. Kenaikan permukaan laut telah menempatkan pulau ini pada risiko tinggi, dengan bahaya banjir sedang yang berdampak pada 49 persen dan bahaya banjir tinggi yang berdampak pada 24 persen wilayah tersebut.

Baca Juga :  Kapolsek Bukitraya Dicopot Jabatannya Usai Viral Wanita Dikeroyok Debt Colector

Saat terjadi bencana, korban jiwa sering kali mencakup penyandang disabilitas. Kurangnya kesadaran dan terbatasnya akses terhadap informasi bencana menyebabkan penyandang disabilitas berada pada posisi yang sangat dirugikan dalam mempersiapkan dan merespons bencana terkait iklim.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat 30.400 penyandang disabilitas yang terkena dampak badai Seroja.

Kurang informasi

Namun, mereka tidak mengetahui adanya topan tersebut karena kurangnya informasi yang dapat diakses.
Seorang penderita gangguan pendengaran mengatakan mereka tidak menyadari adanya topan tersebut karena mereka tidak mampu mendengar sinyal peringatan.

Mereka baru menyadari betapa parahnya bencana tersebut ketika mereka terbangun karena adanya pohon tumbang dan rumah yang rusak.

Rencana aksi iklim yang inklusif harus melibatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi untuk memastikan suara mereka didengar.

Memberikan informasi yang dapat diakses kepada penyandang disabilitas mengenai strategi adaptasi, mitigasi dan ketahanan terhadap perubahan iklim sangatlah penting.

Peserta tunarungu lainnya mengatakan bahwa menyesuaikan format informasi dan menggunakan bahasa sederhana, alat bantu visual, dan bahasa isyarat dapat memastikan aksesibilitas dan pemahaman yang efektif.

Memprioritaskan rencana aksi iklim yang inklusif dan mempertimbangkan kebutuhan khusus para penyandang disabilitas dapat meningkatkan kesiapsiagaan mereka, mendukung pemulihan mereka dan meminimalkan kerentanan mereka terhadap risiko-risiko yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Tidak adanya perlindungan sosial dan dukungan kesejahteraan yang komprehensif semakin memperparah dampaknya terhadap penyandang disabilitas. Mereka menghadapi tantangan dalam mengakses bantuan dan pemulihan dari bencana terkait iklim karena stigma dan kurangnya perlindungan jaminan sosial.

Salah satu penyandang disabilitas netra menceritakan pengalamannya tidak menerima bantuan pemerintah pasca bencana Topan Seroja di Kupang.

“Tidak, tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata mereka. “Hanya teman kami dari LSM lokal yang memberikan bantuan kepada beberapa penyandang tunanetra yang atapnya rusak. Mereka memberikan lembaran atap seng, kayu dan bahan bangunan.”

Kebutuhan untuk menjadi inklusif

Hal ini bukan merupakan kasus yang terisolasi, hal ini menekankan pentingnya perlindungan sosial dan dukungan kesejahteraan yang inklusif untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi dampak bencana terkait perubahan iklim.

Baca Juga :  Serangan Siber via NFC Ancam Android

Penyandang disabilitas berjumlah 1.274 orang es yang tinggal di Makassar pada tahun 2021. Selama wawancara dan diskusi kelompok terfokus di wilayah tersebut, kami menemukan bahwa banjir dan kekeringan adalah masalah paling umum yang terkait dengan perubahan iklim.

Air bersih sulit didapat saat banjir. Selama kekeringan tahun 2023, pasokan air untuk mengalirkan listrik berkurang secara signifikan dan masyarakat mengalami pemadaman listrik hingga 5-6 jam.

Curah hujan ringan dan deras dapat menyebabkan banjir di Kota Makassar yang tingginya hanya 25cm di atas permukaan laut dan dialirkan dua sungai besar sehingga menjadikannya daerah rawan banjir.

Perubahan iklim meningkatkan kemungkinan terjadinya banjir; penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kruk berisiko terpeleset.

Seorang penyandang disabilitas yang diwawancarai di Makassar mengatakan: “Kalau bicara soal perubahan iklim, yang terlintas di kepala saya adalah banjir, panas, dan pemadaman listrik. Banjir, panas, listrik padam. Ini seperti mimpi buruk yang berulang”.

Karena tidak tersedianya bantuan pemerintah secara umum, penyandang disabilitas sebagian besar mengandalkan naluri dan kreativitasnya untuk bertahan hidup.

Seorang peserta salah satu diskusi kelompok terfokus mengatakan: “Menjadi penyandang disabilitas bukanlah sebuah pilihan, dan kita dipaksa untuk tangguh dalam segala keadaan.

“Kalau ada yang jadi difabel, otomatis dia sudah dianggap tangguh. Kesulitan yang dihadapi oleh teman-teman non-disabilitas dua kali lipat lebih sulit bagi kita yang difabel. Kita tangguh karena harus berjuang dua kali lebih keras dari teman-teman non-disabilitas kita.”

Mereka menyarankan agar ada data mengenai penyandang disabilitas sehingga pemerintah dapat memprioritaskan mereka ketika terjadi bencana, serta informasi yang dapat diakses oleh mereka.

Praktik manajemen bencana yang inklusif

Kerangka kerja manajemen bencana di suatu negara memainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan dukungan yang tepat.
Pentingnya inklusivitas dan non-diskriminasi dalam seluruh tahapan penanggulangan bencana telah secara eksplisit ditekankan melalui keputusan presiden dalam Rencana Induk Penanggulangan Bencana tahun 2020-2044.

Peraturan tersebut menguraikan peta jalan Pengurangan Risiko Bencana Indonesia tahun 2020-2044. Salah satu peraturan khusus menguraikan prinsip-prinsip pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana. Peraturan mengenai pengelolaan, perlindungan dan inklusi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana mengamanatkan bahwa disabilitas harus dipertimbangkan ketika lembaga penanggulangan bencana nasional dan daerah di Indonesia merencanakan, melaksanakan dan memantau kegiatan mereka.

Kedua peraturan tersebut berkaitan dengan unit layanan disabilitas atau ULD yang memberikan layanan bagi penyandang disabilitas. Platform ULD memungkinkan keterlibatan aktif organisasi-organisasi yang mewakili penyandang disabilitas di kantor penanggulangan bencana lokal di tingkat provinsi dan kabupaten.

Baca Juga :  Pemkot Bandung Tunggu Arahan Resmi Terkait SPMB 2025, Farhan Ingatkan Soal Domisili

Unit-unit layanan disabilitas ini mendorong pelaksanaan pengurangan risiko bencana secara efisien di tingkat lokal. Dengan memanfaatkan ULD, penyandang disabilitas dapat dipekerjakan di Badan Penanggulangan Bencana Negara dan berpartisipasi aktif dalam pengembangan inisiatif pengurangan risiko bencana yang inklusif, seperti peningkatan kapasitas.

Namun, inisiatif-inisiatif ini dianggap bersifat sporadis dan bersifat rendahan karena terbatasnya jumlah daerah yang menjadi bagian dari upaya ini.

Berdasarkan tinjauan rencana induk penanggulangan bencana tahun 2022, hambatan utama dalam upaya pengurangan risiko bencana secara efektif adalah kurangnya kontrol dalam melaksanakan rencana tersebut. Kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan pengurangan risiko bencana sudah ada, namun pengawasan dan regulasi masih kurang efektif.

Pemerintah menghadapi tiga tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana: kurangnya prioritas, penekanan dan komitmen dari para pemimpin lokal.
Meskipun inklusivitas secara eksplisit dibahas dalam kerangka pengurangan risiko bencana di Indonesia, hambatan-hambatan ini masih menjadikan penyandang disabilitas sebagai fokus utama.

Pemerintah harus menghadapi hambatan-hambatan ini dan menjamin bahwa semua kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, terlibat aktif dalam inisiatif pengurangan risiko bencana, khususnya dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan memprioritaskan inklusivitas dan mengatasi kesenjangan dalam komitmen, penentuan prioritas dan penekanan pada pengurangan risiko bencana, pemerintah dapat berupaya menuju pendekatan yang lebih efektif dan komprehensif untuk mengurangi risiko bencana bagi semua individu.***

  • Kontributor: Organisasi Penyandang Disabilitas, Garamin NTT & Perdik Makassar sebagai mitra penelitian kami.
  • Eka Permanasari adalah Associate Professor Desain Perkotaan di Monash University Indonesia dan Monash Urban Transformation Hub.
  • Sharyn Davies adalah Associate Professor dan antropolog serta Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Center di Monash Indonesia.
  • Welmince Djulete adalah peneliti postdoctoral di Monash University Indonesia dan Herb Feith Indonesian Engagement Centre.
  • Rafika Ramli adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan juga sekretaris SDGs Center Universitas Hasanuddin.
  • Publikasi ini merupakan bagian dari proyek koneksi: “Membangun mmodel ketahanan iklim di masa depan dengan melibatkan masyarakat (MoFREC)” Proyek ini didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan serta Pemerintah Australia dan Indonesia dan dilaksanakan oleh Monash University. Anda dapat mengetahui lebih lanjut tentang proyek ini dan semua anggota tim yang berkontribusi di sini:
  • Pandangan yang diungkapkan dalam publikasi ini merupakan pandangan penulis sendiri dan belum tentu merupakan pandangan Pemerintah Australia.

Baca Berita Menarik Lainnya :