Oleh Fajar Junaedi (360info)
- Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
MENJELANG peringatan dua tahun hari tergelap dalam sepak bola Indonesia, para pengelola sepak bola negeri ini masih bergulat dengan cara terbaik untuk mewujudkan reformasi berkelanjutan yang menjaga masa depan olahraga ini.
Pada 1 Oktober 2022, 135 orang tewas dalam pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya dalam tragedi Kanjuruhan, tercekik dalam kerumunan yang disebabkan oleh kekerasan antara dua kelompok pendukung yang bermusuhan.
Ketika kekerasan meletus di pertandingan sepak bola, yang disalahkan hanya para penggemar. Kenyataannya, kesalahan dimulai jauh sebelum pendukung pertama melompati pembatas atau melakukan pukulan.
Semua berawal dari panitia penyelenggara pertandingan, yang menjual lebih banyak tiket daripada kapasitas stadion mereka. Keadaan ini diperparah oleh pihak keamanan, yang terkadang lebih banyak memprovokasi daripada meredakan ketegangan. Hal ini terjadi karena polisi, yang terlalu mudah menggunakan gas air mata, dan operator kompetisi yang menggelar pertandingan tanpa mengatur langkah-langkah keamanan yang tepat.
Namun, hal itu tidak digubris oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, yang juga dikenal sebagai PSSI. Setelah tragedi Kanjuruhan, pemerintah Indonesia membentuk komite investigasi independen. Komite tersebut menemukan banyak kekurangan: tidak ada pengarahan keselamatan sebelum pertandingan di stadion, tidak ada rambu-rambu untuk membantu penonton jika terjadi keadaan darurat. Gerbang keamanan yang dirancang untuk membantu jika terjadi evakuasi bahkan tidak pernah disiapkan.
Pemerintah Indonesia tidak dapat secara langsung campur tangan dalam administrasi sepak bola negara tersebut, karena hal itu akan dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan olahraga oleh FIFA, badan sepak bola dunia. Itu berarti yang terbaik yang dapat dilakukan komite adalah membuat rekomendasi dan berharap PSSI menanggapinya.
Apa yang harus diubah?
Cara terbaik untuk mencegah tragedi lain di Liga 1 Indonesia adalah dengan memprioritaskan keselamatan daripada keuntungan dalam hal penjadwalan pertandingan.
Misalnya, pertandingan Kanjuruhan diadakan pada malam hari, yang konon dimaksudkan untuk membantu memaksimalkan rating televisi — meskipun pertandingan pada malam hari menimbulkan risiko keamanan yang lebih besar dan para penggemar klub memiliki rivalitas yang mendalam sebelumnya.
Untuk mencegah kekerasan penggemar, sepak bola di Indonesia perlu dimodernisasi. Itu dimulai dengan menempatkan klub sepak bola pada standar yang lebih tinggi.
Jika sebuah klub tidak mampu meningkatkan tata kelolanya, termasuk mengelola perilaku penggemarnya, para pengurus harus siap memberi sanksi kepada mereka — sanksi finansial, larangan masuk stadion, dan degradasi adalah hukuman yang dapat digunakan jika liga bersedia menjadikan keselamatan sebagai prioritas utama.
Demikian pula, jika PSSI tidak dapat meningkatkan tata kelolanya, kompetisi sepak bolanya harus dievaluasi.
Meskipun akhirnya tidak mengajukan tawaran untuk Piala Dunia FIFA 2034, hal itu tampaknya hampir terjadi — sebuah tanda bahwa negara itu ingin dianggap serius di panggung sepak bola dunia.
Agar ini menjadi kenyataan, Indonesia perlu menjadi tempat yang aman untuk bermain dan menonton sepak bola.
Apa yang sedang dilakukan?
Sebagai penghargaan, PSSI telah memulai serangkaian reformasi untuk meningkatkan perilaku penggemar. Suporter tim tandang dilarang menghadiri pertandingan selama turnamen domestik, Piala Presiden 2024. Sejak tragedi Kanjuruhan, FIFA telah mengamanatkan Indonesia menjalani “masa transformasi” selama dua tahun untuk meningkatkan keamanan sepak bolanya, jika tidak, Indonesia akan menghadapi sanksi resmi dari badan pengatur olahraga tersebut.
Bersamaan dengan tindakan sementara berupa larangan suporter tandang, FIFA juga telah mendorong PSSI untuk memberlakukan sistem registrasi guna membantu mengidentifikasi dan meminta pertanggungjawaban suporter yang tidak tertib, yang mengganggu, dan melakukan kekerasan di pertandingan.
Tindakan ini meniru Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA), yang menghadapi krisis serupa pada tahun 1989. Setelah periode hooliganisme sepak bola yang terkenal kejam, yang mencapai titik terendahnya dengan tewasnya 97 suporter Liverpool dalam tragedi stadion Hillsborough tahun 1989, FA membuat perubahan mendasar pada sepak bola di Inggris.
Keamanan di stadion ditingkatkan, peraturan baru yang mengatur sepak bola disusun, dan FA memikirkan kembali hubungannya dengan suporter. Telah terjadi transisi dari kehadiran polisi yang besar di stadion sepak bola dan beralih ke petugas keamanan, staf terlatih khusus yang menyeimbangkan tanggung jawab keamanan dengan membantu para penonton.
Langkah-langkah lain yang dapat ditiru Indonesia dari Inggris termasuk mewajibkan semua stadion untuk menggunakan kursi tunggal, yang berarti tidak ada area berdiri, yang jauh lebih aman untuk meredakan penggemar yang tidak tertib. FA juga memastikan bahwa pagar pembatas yang tinggi antara tribun dan lapangan dihilangkan, karena dipahami dapat memicu perilaku yang lebih buruk dari para penggemar.
Hooliganisme belum sepenuhnya hilang dari sepak bola di Inggris, tetapi skala kekerasan terhadap penggemar sepak bola telah menurun secara signifikan dibandingkan dengan tahun 1980-an.
Pentingnya peraturan dan infrastruktur
Setelah Hillsborough, otoritas Inggris bergerak untuk mengubah setiap aspek pengalaman penggemar.
Bagi sebagian orang, peraturan tersebut telah menumpulkan sebagian dari semangat dan antusiasme penonton. Namun, FA menganggapnya sebagai tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan memastikan Hillsborough tidak pernah terulang.
Kekerasan sepak bola di Inggris masih jauh dari kata selesai. Polisi menangkap 49 orang terkait bentrokan keras di final UEFA Euro 2020 di London, dan perkelahian masih terjadi di pertandingan Liga Primer Inggris.
Namun, sepak bola Indonesia harus banyak belajar dari rekan-rekan internasionalnya, dan dapat dimulai dengan mengambil beberapa pelajaran dari tragedi Kanjuruhan untuk memastikan bencana dalam skala seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi.***
- Fajar Junaedi adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan aktivis di Muhammadiyah Center for Sports Development.