SKETSA | Regulatory Capitalism

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

EKONOMI Amerika yang begitu bebas pada akhirnya memberikan kesempatan “orang keuangan” untuk memanipulasi pasar modal dan menipu rakyat kecil. Hal itu yang terjadi ketika tunggakan kredit rumah malah disulap sampai mengkilap, dan dijadikan stok berharga di bursa saham. Sehingga menimbulkan krisis finansial pada tahun 2007.

Gambar 1 – Tuna wisma di Los Angeles.

Awalnya rakyat diiming-imingi dengan penawaran kredit rumah tanpa uang muka, tetapi di balik kemudahan itu terdapat jerat bunga yang variabel, artinya bunga pinjaman boleh naik turun sesuka pasar. Orang-orang dusun dari Mexico dan pendatang dari Asia tergiur untuk mengambil penawaran seperti itu. Belum lagi ada janji besok harga rumah akan naik, sehingga seorang kepala keluarga yang berpenghasilan pas-pasan terpancing untuk mengangsur 4 – 5 rumah sekaligus. Hal itu diperbolehkan, bank tidak melakukan pengecekan atas kemampuan orang itu membayar cicilan bulanan. Karena bank telah bekerja sama dengan agen property agar status rumah yang baru dibangun dinyatakan sold-out.

Sepertinya bisnis property mengalami booming, padahal itu suatu pertumbuhan palsu, karena pembeli rumah yang bonafide nyaris tidak ada. Ketika terjadi gagal bayar angsuran di mana-mana, maka cicilan orang yang menunggak itu justru dijadikan aset untuk dimanipulasi menjadi stok berharga. Stok tersebut kemudian digoreng di bursa saham dan market berebut untuk membelinya. Namun dalam sekejap market tahu bahwa mereka telah tertipu, akibatnya bank justru menaikkan bunga cicilan rumah, karena dinilai bisnis property beresiko tinggi. Cicilan bunga yang tinggi sudah pasti tidak mampu dibayar oleh rakyat kecil, akibatnya bank menyita semua rumah-rumah itu, mengusir pemiliknya, sehingga menjadi tuna wisma, seperti yang kita lihat gembel berkeliaran di pinggir jalan raya Los Angeles. Tenda orang miskin dan gerobak berisi peralatan rumah tangga berserakan di mana-mana, orang tidur di jalanan.

Gambar 2 – Kejatuhan pasar saham Amerika tahun 2008.

Orang-orang yang sempat membeli stok bodong yang di dalamnya berisi tunggakan cicilan rumah, kemudian tidak percaya lagi terhadap bursa saham, karena duitnya amblas. Sehingga di tahun 2008 terjadi kejatuhan pasar saham di Amerika dan merambat ke bursa saham lainnya di seluruh dunia. Efek domino yang menyebabkan dunia mengalami krisis dan Amerika tidak dapat mengobati ekonominya sampai sekarang. Itu yang disebut sebagai krisis pasar hipotek sub-prime.

Krisis yang berawal pada industri keuangan Amerika di tahun 2007 telah berkembang menjadi krisis ekonomi global yang besar dan meningkatkan pengangguran di banyak negara. Proliferasi (mengembangbiakkan barang busuk) produk derivatif keuangan sebagai penyebab utama mengapa krisis meluas begitu cepat ke segala arah. Proliferasi bisa terjadi karena pasar dibebaskan tanpa aturan (deregulasi). Deregulasi pasar keuangan telah menjadi fitur utama model kapitalisme neoliberal yang telah diadopsi pada banyak negara dalam setengah abad terakhir.

Proliferasi merupakan produk neoliberalisme yang membebaskan orang berbuat sesukanya, menternakkan saham bodong, asalkan ekonomi tumbuh. Namun pertumbuhan itu semu, justru membuat ekonomi Amerika menjadi hancur selama belasan tahun ke depan. Kebebasan ekonomi telah merusak sistem, dan akibatnya orang sekarang ingin pasar diatur. Dari sudut pandang ini, kita sedang menghadapi krisis neoliberalisme, yang membuka suatu perubahan ke arah peran regulasi negara yang lebih besar – dalam rangka membatasi keuangan spekulatif. Banyaknya aturan atau regulasi dibuat dalam sistem kapitalisme, sehingga negara kembali campur tangan dalam urusan ekonomi, disebut sebagai Regulatory Capitalism.

Baca Juga :  Prakiraan Cuaca Kota Bandung dan Sekitarnya, Minggu (5 Juli)

Regulasi berguna untuk menangani secara langsung masalah ekonomi real. Pemahaman tentang krisis ini juga menyebabkan seruan untuk memikirkan kembali tatanan ekonomi global, restrukturisasi ekonomi dunia, dan untuk merespons meningkatnya kekuatan ekonomi China dan India. China dan India yang ekonominya diatur dan diawasi negara, justru selamat dari krisis ekonomi 2007-2008. Karenanya, hegemoni ideologi dan praktik neoliberalisme sekarang serius dipertanyakan. Dan krisis global telah menjadi krisis kapitalisme neoliberal, dalam arti menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk membangun sebuah sistem non-kapitalisme. Dengan demikian apakah Kapitalisme sudah bangkrut? Sehingga kapitalisme harus diatur ulang (Regulatory Capitalism)?

Namun kita juga dapat melihat adanya bahaya yang mengintai dari Regulatory Capitalism ini, karena di balik regulasi yang dibuat seringkali ditunggangi oleh para pencari rente. Kita bisa melihat apa yang terjadi di Indonesia, aturan-aturan ekonomi seringkali menguntungkan para konglomerat belaka. Di samping adanya bahaya pada Regulatory Capitalism, kita juga melihat optimisme dalam penerapan regulasi yang menggunakan teknologi, seperti yang terjadi pada bursa saham.

Batas Otonomi Negara
Salah satu permasalahan dalam Regulatory Capitalism adalah sampai batas mana negara dikonsider sebagai entitas yang otonom. Artinya batasan otonomi negara ini terkadang dianggap kabur atau bias karena ada hubungan interpersonal dan intersosial serta saling ketergantungan antara pejabat negara yang berkuasa saat itu dengan bisnis yang sedang berjalan. Aturan-aturan yang diciptakan oleh negara seringkali menguntungkan suatu kelompok tertentu yang terhubung dengan pejabat negara. David Levi-Faur pada makalahnya “Regulatory Capitalism” yang dikumpulkan dalam buku Regulatory Theory, Foundation and Application, mengindikasikan adanya hubungan saling ketergantungan antara pejabat negara yang terpilih atau yang dicalonkan di satu sisi, dengan aktor kapitalis di sisi yang lain. Ketika terjadi konflik antara tuntutan sosial (misalnya, peraturan subsidi) dan tuntutan kapitalis (misalnya, persaingan atau penghancuran kreatif dan transformasi ekonomi), maka para pejabat negara diminta untuk mendukung atau menjadi wakil kepentingan kelas kapitalis. Karenanya otonomi negara dan pejabatnya tetap relatif, selama adanya tuntutan dan kebutuhan untuk kapitalisme terus menang atas kepentingan lainnya.

Levi-Faur mengatakan, elemen kunci dalam teori regulatory capitalism bergantung pada hubungan antara regulasi dan komodifikasi. Untuk memahami hubungan ini, kita perlu membangun konsep yang menyangkut strategi dan regulasi yang akan dijalankan. Regulasi adalah salah satu bentuk legalisasi birokrasi, sementara deregulasi menjadi strategi yang disukai untuk pembaharuan ekonomi dan politik kaum neoliberal di Amerika Serikat. Mereka sering menyuarakan ide bahwa regulasi adalah problem, sedangkan deregulasi itu—yaitu penghapusan regulasi—adalah solusinya. Karena itu kemudian digunakan istilah Re-regulasi yang mencerminkan campuran dan keseimbangan baru antara politik, ekonomi dan sosial. Artinya, re-regulasi itu merupakan jalan tengah dari tarik menarik antara neoliberalisme dengan regulatory capitalism.

Para Pencari Rente
Di sisi lain, perusahaan pencari rente akan menciptakan masalah. Jika seseorang dapat melobi untuk keuntungan dirinya, mereka akan memelihara para pejabat agar dapat memberikan previlage untuk bisnis mereka. Modus yang digunakan biasanya mereka terus membayar agar usahanya tetap terjaga dan hak istimewa yang sudah dimilikinya itu tetap bertahan melalui regulasi yang diciptakan dari hubungan tersebut. Uang keuntungan yang didapatnya tidak masuk kantong sendiri, tetapi dibagi-bagi dengan para pejabat demi kebijakan yang menciptakan rente itu berlanjut.

Baca Juga :  Idealnya Pergantian Panglima TNI dan KSAD Dilaksanakan Setelah Pemilu 2024

Paul Dragos Agilica dan Vlad Tarco menekankan hal ini dalam artikelnya Crony Capitalism, bahwa untuk menjaga rente, maka suatu perusahaan harus membatasi akses perusahaan lain agar tidak mempunyai level hubungan yang setara dengan pejabat yang sudah menjadi crony-nya. Pada negeri-negeri yang kelembagaannya lemah maka para pejabat dapat dengan mudah dikontrol oleh hubungan crony ini. Bagaimana ekonomi dapat berjalan sementara kontrak-kontrak yang diciptakan memberikan perlindungan yang sangat lemah kepada kepentingan rakyat dan negara? Dalam kapitalisme kroni, justru kronisme memainkan peran penting dengan memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi Pemerintah, misalnya masalah permodalan dalam pembangunan. Sejauh aset mereka terlindungi, maka para kroni akan terus memberikan dukungan sehingga pertumbuhan ekonomi terus terjaga. Kuncinya adalah tidak ada perubahan pada elit penguasa, sehingga mereka dapat melanjutkan komitmennya. Makanya wajar kalau banyak Partai menginginkan pemerintahan Jokowi dilanjutkan sampai 3 periode.

Berkuasanya Hukum Regulasi
Regulasi tidak terlepas dari domain hukum. Sehingga perlu ditekankan pentingnya mempelajari bagaimana dan oleh siapa hukum itu diproduksi, dan fokus kita adalah pada elit hukum dan sumber daya serta strategi yang mereka gunakan untuk mendominasi produksi hukum. Investasi dalam keahlian hukum menjadi sarana membangun modal sosial, dan perjuangan kompetitif. Bagi mereka, klaim netralitas hukum dan cita-cita universal dikerahkan untuk memberikan legitimasi pengacara elit kepada klien yang kuat, yaitu Pemerintah dan perusahaan besar. Mereka menganggap bahwa hukum dan pengacara telah menjadi pusat dari “strategi kekaisaran Amerika abad kedua puluh”, yang membentuk lembaga kekuasaan kuasi-negara.

Sol Picciotto dalam “Mediating Contestations of Private, Public and Property Rights in Corporate Capitalism”, mengatakan bahwa perubahan politik dan ekonomi serta konflik, telah memberikan motif yang kuat untuk mengubah hukum sesuai dengan perspektif mereka. Mereka mencirikan keberhasilan hukum bertumpu pada ‘kemampuan’ pengacara untuk menangani konflik eksternal di antara lembaga-lembaga penting yang terkait dengan bisnis mereka. Kemudian mereka mengelola konflik tersebut dengan menerjemahkannya ke dalam undang-undang. Bagi mereka, konflik adalah pertempuran faksi-faksi yang bersaing dalam mendefinisikan dan mengontrol negara. Bagi pengacara, pertempuran itu penting, tanpa harus peduli apa yang menjadi sifat atau isi dari perjuangan tersebut. Mereka melakukannya sebagai pengacara kelompok elit yang bertindak atas atas nama orang yang berkuasa. Para pengacara hanya peduli bagaimana kliennya itu dapat mendominasi bisnis yang digelutinya. Karenanya pengacara tidak perlu mendukung hukum yang liberal, bahkan sering kali mereka berpihak pada otoritarianisme. Sementara dalam menerapkan politik muka dua, dalam era politik yang berbeda, seorang pengacara perlu berinvestasi dalam legitimasi tertentu agar dikenal sebagai ‘pembaharu, modernis, atau promotor kesejahteraan sosial’.

Hal itu juga menunjukkan bahwa pada era Regulatory Capitalism, kekuasaan selalu hegemonik dan mereproduksi diri. Untuk membuat hukum dapat menengahi kekuasaan, maka dibutuhkan waktu untuk menciptakan format-format atau aturan yang sah. Hal ini juga merupakan pengakuan bahwa hukum diciptakan untuk melegitimasi upaya pencaplokan dan perampasan. Dari sana muncul akumulasi kekayaan, hak-hak istimewa, serta ketidaksetaraan ekonomi, hukum dan regulasi. Dengan itu tentu saja hukum akan mengatur penggunaan yang sah atas kekuatan dan kekuasaan, yang memberi wewenang kepada para kapitalis untuk menerapkan sanksi ekonomi maupun sanksi fisik dan hukuman.

Baca Juga :  Pesantren Assuruur dan Lion Indonesia Jalin Kerja Sama

Krisis menciptakan Regulasi
John Braithwaite dalam papernya, Meta governance of path dependencies: Regulation, welfare and markets, mengatakan bahwa krisislah yang telah membuat pasar menjadi bergantung pada regulasi. Serangan 911 Al Qaeda memberikan justifikasi ‘negara harus turun tangan’ dalam krisis yang muncul seperti itu. Hasilnya adalah peningkatan besar dalam regulasi melalui headline “keamanan tanah air”. Sehingga pasar yang terkait dengan pertahanan juga tumbuh, misalnya perusahaan yang memproduksi teknologi pemindaian yang lebih besar dan canggih di bandara. Demikian pula tumbuhnya bisnis perusahaan swasta yang mengoperasikan mesin-mesin pengamanan, perusahaan yang memproduksi drone, kamera keamanan dan Artificial Intelligence, untuk mendiagnosis adanya risiko bahaya berdasarkan miliaran gambar pemantauan. Selanjutnya, kompleks industri militer diperbarui untuk memperkuat pertahanan Amerika di Timur Tengah. Dengan itu ketergantungan pasar terhadap Pemerintah menguat. Ekonomi menjadi tumbuh. Negara lah yang menciptakan permintaan terhadap kebutuhan regulasi. Walau hal ini baik secara ekonomi tetapi tidak baik secara jangka panjang.

Optimisme
Namun di samping elaborasi terhadap aspek-aspek negatif dari Regulatory Capitalism seperti uraian di atas, ada juga berita yang menggembirakan. Tentang berfungsinya lembaga-lembaga negara yang dapat mengontrol kecurangan dengan menggunakan mesin dan teknologi. Utamanya pada bisnis yang bersifat jual-beli berulang, seperti pada transaksi bursa saham. Rebecca Schmidt dan Colin Scott dalam paper risetnya, “Regulatory discretion: structuring power in the era of regulatory capitalism”, mengatakan bahwa proses otomatisasi berdasarkan pembelajaran mesin, sangat relevan ketika menyusun kebijaksanaan yang terkait pemantauan.

Regulator menggunakan teknologi yang secara langsung melakukan pemantauan dan menentukan kemungkinan pelanggaran. Dalam hal ini MIDAS (Sistem Analisis Data Informasi Pasar) dipakai untuk memantau Bursa Efek (SEC). MIDAS mengumpulkan sekitar 1 miliar catatan transaksi pertukaran ekuitas yang masing-masingnya berlangsung dalam orde mikrodetik. Pendekatan ini memungkinkan SEC dapat menganalisis ribuan transaksi saham selama periode enam bulan atau satu tahun, yang melibatkan 100 miliar catatan transaksi. Teknologi ini pada akhirnya digunakan untuk mendeteksi secara otomatis dan segera menghentikan aktivitas insider trading. Contoh lain adalah IRS (Internal Revenue Service) di Amerika, yang menggunakan proses otomatisasi untuk memprediksi penipuan pajak Demikian pula di Belanda, Systeem Risico Indicatie (SyRI), menggunakan algoritma yang dibuat untuk membantu pemerintah Belanda mendeteksi beberapa jenis penipuan seperti tunjangan sosial atau penipuan pajak.

Kesimpulan
Regulatory Capitalism merupakan gerak balik pendulum terhadap Neoliberalisme yang cenderung melepaskan Pemerintah dari campur tangan ekonomi, menjadi Pemerintah yang kembali ikut serta dengan memberikan banyak regulasi dan pengontrolan kepada pasar dan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dipicu oleh kasus subprime yang mendatangkan kesengsaraan banyak orang. Subprime sebetulnya bukan satu-satunya pemicu ke arah regulasi, tidak jauh sebelum itu ada krisis 911 yang memicu Pemerintah Amerika Serikat menetapkan regulasi. Dan krisis/regulasi ternyata baik juga untuk pertumbuhan ekonomi walau kurang baik untuk jangka panjang karena menimbulkan ketergantungan swasta terhadap proyek-proyek Pemerintah.

Regulatory Capitalism dianggap berbahaya karena menciptakan kolusi antara swasta dengan Pemerintah yang menyetir sedemikian rupa agar regulasi yang diciptakan dapat menguntungkan segelintir orang atau para kroni. Hukum dan peraturan dibuat agar berpihak kepada pemodal, bukan kepada kesejahteraan masyarakat. Namun demikian adanya penemuan dalam sistem dan teknologi baru telah menimbulkan optimisme sehingga kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam transaksi cepat bursa spekulatif dapat dideteksi untuk kemudian dicegah dan ditindaklanjuti secara hukum oleh Pemerintah.***

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Persib Mantap di Posisi Runner-up Usai Persija Tahan Imbang Bhayangkara

Ming Mar 27 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | BALI – Hasil pertandingan lanjutan kompetisi BRI Liga 1 2021/2022 pekan ke-33, Sabtu 26 Maret 2022, antara Bhayangkara FC vs Persija Jakarta sama kuat 1-1. Pertandingan yang digelar pukul 17:30 WIB (di Stadion Kapten I Wayan Dipta, live Indosiar) itu berimbas baik bagi Persib Bandung yang mantap […]